Pada masa kekhalifahan sahabat yang
empat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (Khulafa ar-Rasyidin), istilah
khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar yang menunjuk kepada
suatu jabatan kepala pemerintahan. Ketika Abu Bakar as-Siddiq ditetapkan
untuk menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, ia diberi
gelar Khalifah Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW).
Sebutan ini merupakan gelar khusus
baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Nabi SAW memimpin
masyarakat, dan bukan sebagai istilah yang menunjukkan pada jabatan.
Selanjutnya saat Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar, Umar tidak bersedia menggunakan gelar khalifah. Dalam kehidupan sehari-hari ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Lambat laun panggilan ini menjadi istilah kepemimpinan di kalangan umat Islam di beberapa negeri Islam. Khalifah atau Amirul Mukminin atau kepala negara adalah pelayan umat sehingga dia mempunyai kewajiban kepada mereka seperti kewajiban seorang hamba kepada majikannya.
Selanjutnya saat Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar, Umar tidak bersedia menggunakan gelar khalifah. Dalam kehidupan sehari-hari ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Lambat laun panggilan ini menjadi istilah kepemimpinan di kalangan umat Islam di beberapa negeri Islam. Khalifah atau Amirul Mukminin atau kepala negara adalah pelayan umat sehingga dia mempunyai kewajiban kepada mereka seperti kewajiban seorang hamba kepada majikannya.
Pelaksanaan Pemilihan
Kepemimpinan negara dalam sistem Islam
dengan sebutan apapun terlaksana dengan adanya ikatan antara umat dan
penguasa, dan yang mewakili umat adalah majlis Syura atau majlis umat.
Ikatan ini disebut baiat. Umat diharuskan memberikan baiat bila melihat
adanya kemaslahatan umum. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu
Umar, berkata : ”Ketika kami membaiat Rasulullah SAW beliau bersabda kepada kami : ”Dalam hal-hal yang aku mampu.” “
Begitu pula umat berkewajiban memberi
baiat untuk satu atau dua masa kepemimpinan itu tidak untuk masa yang
panjang atau seumur hidup. Tidak ada larangan bagi umat untuk memberi
persyaratan kepada penguasa pembentukan kementerian bagi partai atau
kelompok yang meraih suara pemilih terbanyak dalam pemilihan bebas yang
diawasi oleh badan yudikatif secara langsung dan sepenuhnya. Dapat
dikatakan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil bukan teokrasi.
Pemilihan dan penetapan Abu Bakar
as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya,
dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata
disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah SAW
memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan
beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa
kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat,
kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud
untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan
dengan pilihan khalifah.
Setelah wafat, posisi Umar digantikan
Usman bin Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh
jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan
meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi
khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas,
dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan
dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk
Usman sebagai khalifah.
Satu hal yang paling penting,
kepemimpinan dalam pemerintahan Islam harus mengacu kepada Alquran dan
sunnah Nabi SAW, sebagai undang undang tertulis. Tugas-tugas kepala
negara sebagian besar terkait dengan masalah sipil. Untuk masalah yang
tidak ditemukan hukumnya dari Allah atau tuntunan Nabi SAW, maka
penguasa berhak mencari solusinya sesuai dengan kaidah-kaidah Syura dan
kaidah-kaidah umum dalam Alquran dan Hadis.
Sistem Multi Partai
Gerakan Islam pada dasarnya tidak
melarang sistem multi partai selama hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan umat dan menyeru kepada amar makruf nahi
munkar. Sebab kesemuanya ini bagian dari kewajiban bagi setiap muslim,
bukan hanya sekedar hak.Secara spesifik, Islam tidak mengenal istilah
multipartai. Islam hanya menyebutkan sistem musyawarah (demokrasi) dalam
menentukan pemimpin masa depan. Namun demikian, dalam masa pemerintahan
Islam, sempat muncul istilah sistem multipartai.
Terdapat perbedaan antara sistem multi
partai dan persaingan tidak sehat yang sering terjadi pada partai-partai
pada umumnya. Begitu pula terdapat perbedaan antara demokrasi dan
sistem syura yang benar dan penggunaan demokrasi atau syura yang hanya
dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan diktator yang
mana partai hanya menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang
merugikan masyarakat.
Ikhwanul Muslimin gerakan Islam terbesar
di Mesir adalah sebuah organisasi pertama yang mengenalkan sistem
multipartai ini secara konkrit. Awalnya, Ikhwanul Muslimin, menolak
sistem partai tunggal dan mempercayai sistem multi partai dalam
masyarakat Islam. Dalam pandangan organisasi ini, masing-masing kelompok
harus diberi kebebasan untuk mengumumkan misinya dan menjelaskan
garis-garis yang ditempuh selama syariah tetap menjadi konstitusi
tertinggi, yaitu undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif
yang bersifat otonomi yang dilindungi dan jauh dari kekuasaan atau pihak
manapun.
Namun demikian, sistem multi partai ini
tidak dengan sendirinya menjadi indikator bahwa penguasa mempunyai
komitmen pada sistem musyawarah atau asas demokrasi.Sebenarnya, dunia
Islam sudah mengenal sistem multi partai sejak zaman Khalifah Usman bin
Affan. Sistem multi partai pada masa itu ditandai dengan muncul
kelompok-kelompok oposisi terhadap penguasa. Oposisi terhadap
pemerintahan Usman muncul setelah sepuluh tahun sejak ia menjadi
khalifah dari warga Mesir dan Syam yang datang membanjiri Madinah dan
melemparkan tuduhan-tuduhan.
Keberadaan kelompok oposisi ini terus
berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh
oposisi yang paling menonjol pada masa itu adalah para sahabat kenamaan,
seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah RA. Bahkan
sekelompok sahabat tidak mau membaiat Ali.
Gerakan oposisi ini tidak melalui
cara-cara damai dan cara dialog melainkan berkembang menjadi peperangan
sengit seperti yang terjadi dalam perang Jamal (Unta) dan perang Shiffin
yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi
Thalib beserta pendukungnya dari penduduk Hijaz dan Muawiyah bin Abu
Sufyan yang didukung oleh penduduk Syam.
Tahkim tersebut berakhir antara dua juru
runding yaitu al-Asy’ari dan Amru bin Ash dari pihak Muawiyah, dengan
keputusan melepaskan kepemimpinan Khalifah Ali serta mengembalikan
kepemimpinan kepada umat untuk memilih lagi seorang khalifah baru yang
akan memutuskan pertikaian dan menyelesaikan permasalahan serta ditaati
oleh semua pihak. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan oposisi baru
terhadap Ali dari kalangan pendukungnya sendiri. Mereka itulah kaum
Khawarij yang dipandang oleh sebagian orang sebagai partai politik
pertama dalam Islam.
Kemudian pada saat Thalhah, Zubair, dan
Aisyah kembali memberikan dukungan mereka terhadap Ali, muncullah secara
bertahap satu kelompok setelah itu di bawah nama Syiah. Kelompok ini
mulai menampakkan bentuknya dengan warna yang paling dominan pada saat
ini adalah sentimen kuat terhadap Ali dan ahlul Bait. Dalam
perjalanannya kelompok Syiah ini berkembang menjadi satu ideologi bagi
mereka yang diperjuangkan.
Keberadaan kelompok oposisi ini atau saat
ini lebih dikenal dengan istilah partai terus berkembang pada masa
sesudah al-Khulafa ar-Rasyidun. Beberapa diantaranya adalah kelompok
ahlal-adl wa at-Tauhid pimpinan Washil bin Atha’ dan kelompok Mutazilah
di masa kekuasaan Dinasti Umayyah.
Hak Non Muslim
Allah SWT mengutus Rasul kepada seluruh
umat manusia dengan aturan yang cocok bagi individu maupun masyarakat.
Sebab Allah menciptakan manusia, yang Maha Mengetahui apa yang baik bagi
diri manusia ini. Dalam hal ini Allah berfirman:
”Katakanlah; Berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana penciptaan (alam) ini berawal.”(Al-Ankabut:20).
Syariah Allah yang berhubungan dengan
sanksi hukum terhadap kejahatan dan yang berhubungan dengan muamalat,
diturunkan bukan saja untuk kaum muslimin, melainkan juga untuk
non-muslim, meskipun tidak dibenarkan memaksa mereka menerima Islam
sebagai agama dan akidah. Mereka diharuskan menerima Islam sebagai
aturan kehidupan sipil. Sebab bagi non-muslim, Yahudi dan Nasrani,
mereka tidak mempunyai ajaran agama tentang sanksi hukum Ilahiyah serta
aturan muamalat. Di sana tidak didapatkan aturan tentang urusan duniawi.
Akan tetapi undang-undang Islam, meskipun
memberikan kebebasan bagi non-muslim, di sana terdapat ikatan-ikatan
dan aturan yang harus dipatuhi. Antara lain mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan sanksi hudud dan qishash, ini dipandang sebagai
aturan umum yang tidak dibedakan antara muslim dan non-muslim, serta
antara wilayah satu dengan yang lainnya.
Kemudian mengenai sanksi ta’zir yaitu
selain hukuman hudud dan qishash, Islam menyerahkan pada kondisi masa
dan tempat. Dalam hal ini masing-masing daerah boleh menentukan sanksi
hukuman yang sesuai.Aturan lainnya mengenai urusan muamalat, seperti
jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Untuk urusan ini Islam
memberikan keleluasaan kepada non-muslim. Dalam kondisi ini Islam tidak
mengharuskan mereka melarang apa yang halal bagi agama mereka meskipun
haram menurut Islam.
Kemudian mengenai masalah-masalah yang
berhubungan dengan urusan pribadi, seperti pernikahan, talak, wasiat,
warisan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini warga non-muslim tidak
diharuskan mengikuti syariah Islam. Pemberlakuan syariah Islam bagi
non-muslim dalam masalah hudud dan muamalat merupakan hal yang diakui
oleh seluruh undang-undang dunia modern. Meskipun bagi minoritas
non-muslim mempunyai hukum sendiri, kecuali dalam masalah-masalah yang
terkait dengan hukum keluarga.
Thomas Arnold dalam bukunya Ad-Da’wah ila
Al-Islam mengemukakan, bahwa tujuan dikenakan jizyah kepad kaum Nasrani
bukanlah sebagai bentuk sanksi atas penolakan mereka untuk masuk Islam,
melainkan mereka melaksanakan pembayaran jizyah ini bersama warga
non-muslim di bawah pemerintahan Islam yang diberi kebebasan memeluk
agama mereka tetapi tidak masuk dalam jajaran militer. Mereka membayar
jizyah sebagai ganti jaminan perlindungan yang diberikan kaum muslimin.
Hak Politik Wanita
Perselisihan paham mengenai hak politik
bagi wanita telah ada sejak lama. Terdapat anggapan bahwa hak politik
berarti memberikan kewenangan membuat undang-undang kepada para wakil
rakyat di parlemen. Padahal jika dicermati, nash-nash syariah, baik
laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan membuat undang-undang
kecuali dalam masalah-masalah yang tidak diatur oleh syariah.
Di kawasan negara-negara Arab terjadi
perdebatan sengit mengenai hak wanita untuk ambil bagian dalam
pergulatan politik yang diwakili dalam hak pemilihan dan hak duduk di
parlemen. Sebagian aktifis wanita beranggapan bahwa hak untuk terlibat
dalam politik adalah kunci yang akan dapat membukakan bagi kaum wanita
semua kehormatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu diadakan secara khusus
berbagai konferensi dan pertemuan guna membicarakan masalah hak politik
bagi kaum wanita.
Para ulama klasik dan modern berbeda
pendapat mengenai hak-hak politik bagi wanita. Perbedaan pendapat ini
kembali pada konsep mereka masing-masing mengenai sifat pekerjaan ini.
Satu pendapat mengatakan bahwa wanita tidak dibenarkan menduduki jabatan
menteri. Sebab Imam atau khalifah harus meminta pendapat dari para
menterinya pada saat-saat tertentu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita
dilarang menjadi Qadli (hakim) menurut syara. Sebab profesi ini menuntut
kesempurnaan pendapat (olah pikir).Sementara di kalangan ulama modern
ada yang berpandangan bahwa wanita mempunyai hak-hak politik sepenuhnya
selain dari pimpinan negara. Pendapat ini dianut oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha, DR Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Muhammad Shalthout, dan DR Muhammad Yusuf Musa.
Alasan lainnya, Islam tidak mencabut hak
wanita dan tidak melarangnya mengutarakan aspirasi dan pendapatnya,
melainkan memberinya kebebasan penuh seperti halnya kaum pria. Sementara
kaidah fikih menegaskan bahwa pada dasarnya yang ada dalam adat
istiadat itu boleh secara hukum selama tidak ada nash yang mengharamkan
0 Response to "Cara Memilih Pemimpin Dengan Cara Islami"
Posting Komentar